Bos BI Ungkap Dampak Dana Rp200 T: Likuiditas Longgar tapi Suku Bunga Tetap Tinggi

Bisnis | Ekonomi - Diposting pada 23 October 2025 Waktu baca 5 menit

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo berjalan untuk mengikuti rapat terbatas dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (30/7/2025).

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo secara terbuka menjelaskan dampak dari kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang menempatkan dana menganggur pemerintah senilai Rp200 triliun ke sektor perbankan.
Dana tersebut merupakan Saldo Anggaran Lebih (SAL) yang sebelumnya tersimpan di Bank Indonesia dan mulai dipindahkan ke lima bank milik negara sejak 12 September 2025.

 

Perry menyampaikan bahwa, sebagaimana tujuan kebijakan Purbaya, penempatan dana pada PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI), PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BBTN), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI), dan PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BRIS) secara langsung meningkatkan likuiditas dalam perekonomian nasional.

 

“Kebijakan moneter yang longgar, ditambah dengan penempatan dana SAL Pemerintah di perbankan, telah mendorong peningkatan jumlah uang beredar,” ujar Perry dalam konferensi pers hasil rapat dewan gubernur yang digelar secara daring, Kamis (23/10/2025).

 

Menurut Perry, langkah Purbaya tersebut berkontribusi terhadap pertumbuhan uang primer atau base money. Ia menunjukkan bahwa uang primer (M0) adjusted, yakni uang primer yang memperhitungkan dampak penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) akibat penerapan kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM), mengalami pertumbuhan 18,58% secara tahunan (yoy) pada September 2025.

 

Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan M0 tanpa penyesuaian KLM, yang hanya sebesar 13,16% (yoy) pada periode yang sama tahun sebelumnya.

 

“Kenaikan M0 adjusted ini terutama dipengaruhi oleh ekspansi keuangan pemerintah dalam komponen **Tagihan Bersih kepada Pemerintah Pusat (Net Claims on Government – NCG),” jelas Perry.

 

Selain itu, Perry juga memaparkan bahwa pertumbuhan uang beredar dalam arti luas (M2) pada Agustus 2025 meningkat dari 5,46% (yoy) pada Januari 2025 menjadi 7,59% (yoy), didorong oleh efek lanjutan dari pelonggaran kebijakan moneter BI yang dilakukan sejak September 2024.

 

Secara komponen, pertumbuhan M2 tersebut ditopang oleh peningkatan uang beredar sempit (M1), yang naik dari 7,25% (yoy) pada Januari menjadi 10,51% (yoy) pada Agustus 2025, sejalan dengan kenaikan uang kartal dari 10,30% (yoy) menjadi 13,41% (yoy) pada periode yang sama.

 

“Dari sisi faktor, kenaikan M2 terutama disebabkan oleh meningkatnya Aktiva Luar Negeri Bersih (Net Foreign Asset – NFA). Ke depan, volume uang beredar diperkirakan akan terus meningkat seiring ekspansi kebijakan fiskal pemerintah,” lanjutnya.

 

Meski likuiditas ekonomi kini melimpah, Perry menyoroti bahwa penyaluran kredit oleh perbankan belum menunjukkan peningkatan signifikan seperti yang diharapkan. Suku bunga kredit dinilai masih sulit turun dengan cepat, sehingga pertumbuhan kredit masih tergolong lambat.

 

“Bank Indonesia menilai bahwa penurunan suku bunga perbankan perlu terus didorong, sejalan dengan kebijakan moneter yang sudah longgar dan penempatan dana SAL pemerintah di perbankan,” ungkap Perry.

 

Ia menjelaskan, sejak September 2024, BI telah menurunkan BI-Rate sebesar 150 basis poin (bps) dan melakukan ekspansi likuiditas. Akibatnya, suku bunga pasar uang telah turun, misalnya INDONIA menurun 204 bps dari 6,03% di awal 2025 menjadi 3,99% per 21 Oktober 2025.

 

Demikian pula, suku bunga SRBI untuk tenor 6, 9, dan 12 bulan masing-masing turun 251 bps, 254 bps, dan 257 bps, menjadi 4,65%, 4,67%, dan 4,70% per 17 Oktober 2025.
Sementara itu, imbal hasil SBN tenor 2 tahun turun 218 bps dari 6,96% di awal 2025 menjadi 4,78%, dan tenor 10 tahun turun 132 bps dari 7,26% pada pertengahan Januari menjadi 5,94%.

 

Namun, penurunan suku bunga di sektor perbankan masih berjalan lambat. Meskipun BI-Rate sudah turun 150 bps, suku bunga deposito 1 bulan hanya menurun 29 bps, dari 4,81% menjadi 4,52% per September 2025, sebagian karena masih adanya special rate bagi deposan besar yang mencapai 26% dari total DPK bank.

 

Suku bunga kredit justru turun lebih kecil, hanya 15 bps, dari 9,20% di awal tahun menjadi 9,05% pada September 2025.

 

Akibatnya, pertumbuhan kredit perbankan pada September 2025 masih terbatas di 7,70% (yoy), sedikit naik dari 7,56% (yoy) pada Agustus.

 

“Permintaan kredit belum kuat karena pelaku usaha masih bersikap hati-hati (wait and see), banyak perusahaan memanfaatkan pembiayaan internal, dan suku bunga kredit masih relatif tinggi,” jelas Perry.

 

Selain itu, fasilitas pinjaman yang belum dicairkan (undisbursed loan) pada September 2025 masih besar, mencapai Rp2.374,8 triliun atau 22,54% dari total plafon kredit, terutama dari sektor perdagangan, industri, dan pertambangan, dengan dominasi pada kredit modal kerja.

 

Dari sisi penawaran, kapasitas pembiayaan bank dinilai masih kuat, tercermin dari rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) sebesar 29,29% dan pertumbuhan DPK sebesar 11,18% (yoy) pada September 2025. Kondisi ini turut didukung oleh ekspansi fiskal pemerintah, penempatan dana di bank besar, serta kebijakan pelonggaran likuiditas dan insentif makroprudensial dari BI.

 

Secara umum, minat penyaluran kredit bank masih cukup baik, tercermin dari persyaratan kredit (lending requirement) yang relatif longgar, kecuali untuk kredit konsumsi dan UMKM, di mana perbankan masih berhati-hati terhadap risiko kredit di dua segmen tersebut.

 

Perry mengungkapkan bahwa kredit modal kerja dan kredit konsumsi justru melambat masing-masing menjadi 3,37% (yoy) dan 7,42% (yoy), sementara kredit investasi masih mampu tumbuh hingga 15,18% (yoy). Adapun kredit UMKM dan pembiayaan syariah juga melambat menjadi 0,23% (yoy) dan 7,55% (yoy).

 

“Ke depan, Bank Indonesia akan terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk mendorong peningkatan pertumbuhan kredit perbankan serta menata struktur suku bunga agar lebih efisien,” tutup Perry.

Sumber: cnbcindonesia.com

Bagaimana pendapat Anda tentang topik ini? Sampaikan pendapat Anda kepada kami. Jangan lupa follow akun Instagram, TikTok, Youtube Digivestasi agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar ekonomi, keuangan, teknologi digital dan investasi aset digital

 

DISCLAIMER

Seluruh informasi yang terkandung dalam situs kami rangkum dari sumber terpercaya dan dipublikasikan dengan niat baik dan bertujuan memberikan informasi umum semata. Tindakan apa pun yang dilakukan oleh para pembaca atas informasi dari situs ini adalah merupakan tanggung jawab mereka pribadi.