Kenapa Investor Asing Belum Ramaikan 'Purbaya Effect'? Ini Alasannya

Bisnis | Ekonomi - Diposting pada 12 September 2025 Waktu baca 5 menit

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengacungkan jempol usai mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (11/9/2025). (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto)

Euforia yang melanda pasar keuangan Indonesia setelah pengumuman kebijakan pemerintah menyalurkan likuiditas ke bank-bank pelat merah (Himbara), ternyata tidak diikuti oleh investor asing. Saat harga saham dan obligasi mengalami reli besar-besaran, pemodal global justru terus mengurangi kepemilikan mereka di aset rupiah.

 

Berdasarkan data Bloomberg, di bursa saham, arus jual bersih asing masih berlanjut hingga sebelas hari perdagangan tanpa henti. Tekanan jual yang dimulai sejak 27 Agustus itu membuat posisi investor nonresiden membukukan net sell senilai US$3,72 miliar atau Rp61,33 triliun sepanjang tahun ini (year-to-date) sampai data terakhir per 11 September.

 

Kondisi serupa juga tampak di pasar Surat Berharga Negara (SBN). Mengutip data Kementerian Keuangan yang dihimpun Bloomberg, investor asing terus melepas SBN sejak awal September. Hingga data terakhir 9 September, investor global menjual SBN senilai US$875,3 juta atau sekitar Rp14,4 triliun.

 

Kendati demikian, bila dilihat secara kumulatif sepanjang tahun, asing masih mencatat net buy sebesar US$3,76 miliar atau Rp61,88 triliun.

 

Sementara di instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang menjadi andalan BI untuk menarik aliran dana asing jangka pendek, data transaksi periode 1–3 September memperlihatkan penjualan bersih asing senilai Rp5,29 triliun. Secara total sepanjang tahun hingga setelmen 3 September, investor asing sudah membukukan net sell SRBI sebesar Rp103,38 triliun.

 

Meski minat asing masih redup, reli harga aset domestik tetap berlanjut. IHSG berhasil mencatat penguatan dua hari berturut-turut setelah sebelumnya merosot akibat reshuffle kabinet. Pada pembukaan perdagangan Jumat pagi, IHSG kembali dibuka menguat 0,92% ke level 7.819.

 

Di pasar obligasi pemerintah (SUN), Kamis lalu, yield turun signifikan: tenor 2 tahun merosot 4,6 basis poin (bps), tenor 5 tahun jatuh 8 bps, tenor 10 tahun susut 3,9 bps, dan tenor 30 tahun turun 2,7 bps.

 

SUN denominasi dolar AS juga reli dengan penurunan yield tenor 10 tahun dan 30 tahun masing-masing 3,6 bps, sementara tenor 2 tahun sedikit turun 0,5 bps. Tren penguatan berlanjut pada perdagangan pagi ini dengan yield SUN 5 tahun turun 2,1 bps dan 10 tahun turun 4,1 bps.

 

Nilai tukar rupiah pun menguat tiga hari berturut-turut, kini berada di Rp16.395 per dolar AS.

 

Risiko Defisit Fiskal

Absennya investor asing dalam reli pasar kemungkinan terkait keraguan terhadap efektivitas kebijakan yang digulirkan. Mereka memilih bersikap hati-hati sambil menunggu kejelasan lebih lanjut.

 

Langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menempatkan dana kas pemerintah, yaitu Saldo Anggaran Lebih (SAL) senilai Rp200 triliun dari Bank Indonesia ke bank-bank BUMN, menjadi kebijakan dengan nilai terbesar sepanjang sejarah.

 

Pada awal tahun ini, Kementerian Keuangan di bawah Sri Mulyani hanya menyalurkan Rp16 triliun SAL ke Himbara untuk kredit murah program Koperasi Merah Putih serta dukungan pembiayaan perumahan rakyat.

 

“Belum pernah ada transfer SAL ke bank sebesar ini. Penarikan dana besar dari SAL pada akhirnya bisa mengurangi fleksibilitas fiskal, karena SAL berfungsi sebagai dana cadangan untuk menutup defisit,” kata Ekonom Maybank Securities Pte., Brian Lee, dikutip Bloomberg News.

 

Meski begitu, masih ada sisa SAL Rp230 triliun atau sekitar 1% dari PDB yang dianggap cukup signifikan.

 

Dalam pernyataan Kamis malam, Menteri Purbaya juga memberi sinyal akan meninjau ulang target defisit RAPBN 2026 yang sebelumnya dipatok 2,48%.

 

“Akan ada perubahan sedikit, itu pasti,” ucap Purbaya di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. “Bisa berubah. Bisa naik, bisa turun,” tambahnya.

 

Masalah Permintaan

Ekonom Irman Faiz menilai kebijakan penyuntikan likuiditas yang digencarkan Menkeu Purbaya justru berpotensi memicu inflasi jangka panjang, bukan mendorong pertumbuhan nyata. “Likuiditas dibanjiri ketika permintaan tetap lesu. Yang naik hanya harga aset di pasar keuangan,” katanya.

 

Padahal, likuiditas perbankan masih longgar. Gubernur BI Perry Warjiyo dalam RDG Agustus menyebut rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) pada Juli 2025 masih tinggi, yakni 27,08%.

 

Kelebihan likuiditas di saat permintaan kredit belum pulih dikhawatirkan hanya kembali masuk ke instrumen SBN atau SRBI. Meski, Menkeu Purbaya telah mengingatkan bank agar tidak menggunakannya untuk membeli obligasi, melainkan disalurkan ke sektor riil.

 

“Tujuannya agar bank memiliki lebih banyak dana tunai, yang tidak boleh ditempatkan di luar kredit. Kita sedang memaksa mekanisme pasar bekerja,” ujar Purbaya.

 

Namun sejumlah ekonom menilai otoritas fiskal sebaiknya fokus pada fungsi dasarnya, yaitu realokasi, redistribusi, dan stabilisasi makro melalui belanja dan pajak, bukan bermain di ranah likuiditas yang menjadi tugas Bank Indonesia.

 

“Quick win ada di belanja. Hambatannya selama ini adalah serapan DIPA dan lambatnya belanja daerah. Karena itu, percepatan pencairan anggaran pemerintah adalah kunci agar multiplier fiskal berjalan. Bisa dilakukan dengan menyesuaikan KPI kementerian/lembaga dan pemerintah daerah,” jelas Irman.

 

Menurutnya, tambahan likuiditas baru akan efektif mendorong pertumbuhan bila sektor riil bergerak. “Kalau tidak, akhirnya seperti masa pandemi, dana berputar kembali ke SBN karena bank tidak akan membiarkan uang mengendap begitu saja,” tambahnya.

 

Reflasi Ekonomi

Pandangan berbeda datang dari Chief Economist Trimegah Sekuritas, Fakhrul Fulvian. “Purbaya bisa disebut sebagai Menteri Reflasi, kebijakan peningkatan likuiditas perbankan ini sebenarnya langkah yang terlambat,” ujarnya.

 

Selama ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia sering tertahan oleh kebijakan moneter yang ketat akibat siklus dolar AS dan faktor eksternal lain, sehingga pemerintah lebih fokus pada stabilitas daripada pertumbuhan.

 

Namun saat ini, pemerintah dituntut memberikan stimulus langsung untuk memperbaiki daya beli dan menggerakkan ekonomi yang stagnan. “Pertumbuhan ada, tapi roda ekonomi tidak berputar, sehingga masyarakat luas tidak merasakan hasilnya,” kata Fakhrul.

 

Ia menekankan bahwa reflasi adalah kebijakan terkoordinasi untuk mendorong aktivitas ekonomi dan permintaan agregat kembali ke level optimal. Caranya adalah dengan mengarahkan belanja besar-besaran ke sektor tertentu guna menciptakan lapangan kerja dan menstimulasi pertumbuhan.

 

Sejarah mencatat kebijakan reflasi pernah sukses, seperti di Amerika Serikat pada 1930-an dan di Jepang melalui Abenomics.

 

Menurut Fakhrul, setelah penempatan dana pemerintah di bank, langkah berikutnya adalah mempercepat belanja dengan kualitas lebih baik, terutama pada program dengan dampak cepat seperti Makan Bergizi Gratis, Koperasi Merah Putih, perumahan, dan lainnya.

 

Agar stimulus lebih tepat sasaran, ia menyarankan adanya insentif untuk perusahaan padat karya, misalnya bantuan membayar sebagian gaji pekerja baru. “Ini penting karena banyak pengusaha sekarang masih berada pada fase bertahan,” pungkasnya.

Sumber: bloombergtechnoz.com

Bagaimana pendapat Anda tentang topik ini? Sampaikan pendapat Anda kepada kami. Jangan lupa follow akun Instagram, TikTok, Youtube Digivestasi agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar ekonomi, keuangan, teknologi digital dan investasi aset digital

 

DISCLAIMER

Seluruh informasi yang terkandung dalam situs kami rangkum dari sumber terpercaya dan dipublikasikan dengan niat baik dan bertujuan memberikan informasi umum semata. Tindakan apa pun yang dilakukan oleh para pembaca atas informasi dari situs ini adalah merupakan tanggung jawab mereka pribadi.

TAG :