Berita Terkini
Demam Dracin Makin Parah! Warga Asia Tenggara Kecanduan Drama China hingga Tak Bisa Lepas
/index.php
Bisnis | Ekonomi - Diposting pada 08 September 2025 Waktu baca 5 menit
Umumnya, lulusan universitas baru memiliki posisi yang relatif lebih baik di pasar kerja dibandingkan populasi tenaga kerja secara umum. Namun, dalam 10 tahun terakhir, persaingan yang semakin ketat baik antar pencari kerja maupun akibat perkembangan teknologi membuat mereka kesulitan mendapatkan pekerjaan, terutama di tengah tingkat pengangguran yang tinggi.
Amerika Serikat (AS) sebagai negara dengan perekonomian besar dan dinamis pun tidak terlepas dari masalah ini. Meski pasar tenaga kerja AS cukup kuat, mereka justru lebih rentan terhadap tren global, seperti percepatan teknologi maupun gangguan akibat krisis.
Dari dekade 1990 hingga sebagian periode 2010-an, lulusan baru AS selalu mencatat tingkat pengangguran yang lebih rendah dibandingkan rata-rata pengangguran nasional. Akan tetapi, kondisi berubah drastis setelah pandemi COVID-19 melanda. Saat itu, pengangguran lulusan baru sempat melampaui angka pengangguran keseluruhan.
Kini, perkembangan teknologi dan hadirnya kecerdasan buatan (AI) memperburuk tren tersebut. Berdasarkan data Federal Reserve Bank of New York yang dirangkum hingga Juni 2025, tingkat pengangguran lulusan baru usia 22–27 tahun berada di 4,8%, lebih tinggi dari tingkat pengangguran nasional AS yang tercatat 4,0%.
Pada dekade 1990-an hingga krisis global 2008, lulusan universitas hampir selalu menikmati pengangguran yang lebih rendah. Selisih rata-rata antara tingkat pengangguran nasional dan lulusan baru mencapai sekitar 1,7%. Bahkan pada 2008, ketika krisis keuangan melanda, pengangguran nasional 4,7%, sementara lulusan baru hanya 3,6%.
Hal ini disebabkan perusahaan cenderung mengutamakan lulusan baru yang memiliki ijazah resmi, dianggap kompeten, fleksibel, mudah dibentuk, serta bersedia menerima gaji lebih rendah dibanding pekerja berpengalaman. Itu sebabnya mereka tetap diminati meski ekonomi sedang melemah.
Namun, setelah pandemi, situasinya berbalik. Walaupun ekonomi AS pulih, kehadiran AI justru menekan kesempatan kerja bagi lulusan baru yang minim pengalaman. Meskipun ada jenis pekerjaan yang relatif aman dari otomatisasi, para sarjana muda tetap dituntut cepat beradaptasi dengan perubahan teknologi yang menggeser kebutuhan tenaga kerja.
Fenomena serupa juga terjadi di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah sarjana menganggur pada 2014 sebanyak 495.143 orang, melonjak dua kali lipat menjadi 981.203 orang di 2020. Walau turun menjadi 842.378 orang di 2024, angkanya tetap tinggi.
Ledakan pengangguran terbesar terjadi saat pandemi COVID-19, ketika pasar tenaga kerja lumpuh, perekrutan ditunda, dan ribuan lulusan baru harus memulai karier dalam kondisi krisis global. Namun persoalannya lebih kompleks dari sekadar pandemi.
Secara jumlah, lulusan SMA masih mendominasi pengangguran dengan 2,51 juta orang pada 2023. Bedanya, lulusan SMA lebih luwes masuk ke sektor informal atau pekerjaan teknis. Sementara itu, banyak sarjana justru terjebak dalam aspirational mismatch—antara harapan, ekspektasi, dan realita yang tidak sejalan. Mereka cenderung menolak pekerjaan yang dianggap kurang sesuai dengan jurusan atau prestise, dan memilih menunggu lebih lama.
Selain itu, ada pula fenomena reservation wage gap, yaitu target gaji atau posisi ideal yang sering tidak sesuai kondisi pasar. Akibatnya, masa tunggu mereka semakin panjang dan angka pengangguran menumpuk.
Masalah inti bukan hanya soal jumlah lapangan kerja, melainkan ketidakselarasan keterampilan. Kurikulum kampus belum cukup responsif terhadap kebutuhan industri, koneksi kampus–dunia usaha masih lemah, dan budaya kewirausahaan mahasiswa masih rendah.
Untuk mengatasi persoalan ini, solusi perlu dimulai dari hulu. Pendidikan tinggi harus didesain ulang dengan fokus pada keterampilan praktis, literasi digital, kerja kolaboratif, serta membuka lebih banyak akses magang dan kemitraan industri. Sama pentingnya, mahasiswa perlu dibekali mental wirausaha, bukan semata pencari kerja.
Fakta bahwa gelar sarjana tidak otomatis menjamin pekerjaan seharusnya menjadi panggilan untuk transformasi. Jika pendidikan tinggi mampu beradaptasi, dan lulusan bisa menyatukan mimpi dengan realita, angka pengangguran sarjana dapat ditekan.
Indonesia tidak kekurangan bakat. Yang dibutuhkan adalah sistem pendidikan yang relevan, ekosistem kerja yang inklusif, dan keberanian untuk meninjau ulang arti sejati kesuksesan setelah wisuda.
Sumber: cnbcindonesia.com
Bagaimana pendapat Anda tentang topik ini? Sampaikan pendapat Anda kepada kami. Jangan lupa follow akun Instagram, TikTok, Youtube Digivestasi agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar ekonomi, keuangan, teknologi digital dan investasi aset digital
DISCLAIMER
Seluruh informasi yang terkandung dalam situs kami rangkum dari sumber terpercaya dan dipublikasikan dengan niat baik dan bertujuan memberikan informasi umum semata. Tindakan apa pun yang dilakukan oleh para pembaca atas informasi dari situs ini adalah merupakan tanggung jawab mereka pribadi.