Berita Terkini
Demam Dracin Makin Parah! Warga Asia Tenggara Kecanduan Drama China hingga Tak Bisa Lepas
/index.php
Bisnis | Ekonomi - Diposting pada 22 August 2024 Waktu baca 5 menit
DIGIVESTASI - Ekonom Senior INDEF, Faisal Basri, mengkritik tajam lonjakan utang di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang terus membesar, namun pertumbuhan ekonomi justru stagnan di kisaran 5 persen.
"Bagaimana mungkin utang meningkat signifikan, tetapi pertumbuhan ekonomi justru melambat. Di era SBY, pertumbuhan ekonomi mencapai 6 persen, sedangkan di era Jokowi hanya 5 persen. Padahal, berutang katanya untuk mempercepat pembangunan," ujarnya dalam diskusi Reviu RAPBN 2025: Utang Ngegas di Jakarta, Rabu (21/8).
Faisal menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena proses pengelolaan utang yang tidak efektif. Hal ini tercermin dari tingginya Incremental Capital Output Ratio (ICOR), sebuah indikator yang mengukur efisiensi investasi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Semakin tinggi ICOR, semakin tidak efisien investasi di suatu negara.
Dia menambahkan bahwa sejak era Soeharto hingga SBY, ICOR Indonesia berkisar antara 4 hingga 4,6. Namun, di era Jokowi, ICOR melonjak menjadi 6,5 pada periode pertama dan naik lagi menjadi 7 pada periode kedua.
"Misalnya, untuk membangun satu kilometer jalan, diperlukan 50 persen lebih banyak modal di era Jokowi periode pertama, dan bahkan lebih tinggi di periode kedua. Ini menunjukkan kualitas ekonomi Indonesia melemah selama era Jokowi," jelasnya.
Faisal juga membandingkan dengan era Orde Baru, di mana meskipun utang meningkat, pertumbuhan ekonomi juga terdongkrak. Ini, menurutnya, karena Presiden Soeharto saat itu mewajibkan seluruh utang digunakan untuk pembangunan.
"Di zaman Orde Baru, seluruh utang harus digunakan untuk pembangunan, tidak boleh untuk membayar gaji. Oleh karena itu, utang disebut sebagai penerimaan pembangunan," tambahnya.
Sementara itu, Jokowi diperkirakan akan mewariskan utang lebih dari Rp8.000 triliun kepada Presiden Terpilih Prabowo Subianto.
Data dari Kementerian Keuangan dalam buku APBN KiTa mencatat bahwa per semester I 2024, utang pemerintah sudah mencapai Rp8.444,87 triliun, atau sekitar 39,13 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Warisan utang Jokowi kepada Prabowo ini jauh lebih besar dibandingkan utang yang ditinggalkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada Jokowi pada 2014, yang tercatat sebesar Rp2.609 triliun.
Gunung utang lebih dari Rp8.000 triliun ini akan mulai terasa dampaknya di tahun pertama pemerintahan Prabowo, di mana ia akan langsung dihadapkan dengan kewajiban pembayaran utang jatuh tempo sebesar Rp800,33 triliun pada 2025. Rincian dari jumlah tersebut adalah Rp705,5 triliun dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp94,83 triliun dari pinjaman.
Jumlah ini belum termasuk bunga utang, yang pada 2025 diperkirakan mencapai Rp552,85 triliun. Jika dijumlahkan, total kewajiban utang jatuh tempo dan bunga yang harus dibayar Prabowo di tahun pertama pemerintahannya mencapai Rp1.353,1 triliun.
Temukan berita dan artikel lainnya di Google Berita
Sumber: cnnindonesia.com
Bagaimana pendapat Anda tentang topik ini? Sampaikan pendapat Anda kepada kami. Jangan lupa follow akun Instagram, TikTok, Youtube Digivestasi agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar ekonomi, keuangan, teknologi digital dan investasi aset digital
DISCLAIMER
Seluruh informasi yang terkandung dalam situs kami rangkum dari sumber terpercaya dan dipublikasikan dengan niat baik dan bertujuan memberikan informasi umum semata. Tindakan apa pun yang dilakukan oleh para pembaca atas informasi dari situs ini adalah merupakan tanggung jawab mereka pribadi.