Fakta Mengejutkan! Asal-Usul Tambang Nikel di Raja Ampat Terkuak

Bisnis | Ekonomi - Diposting pada 09 June 2025 Waktu baca 5 menit

Isu mengenai kegiatan penambangan nikel di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya memicu kontroversi karena dikhawatirkan akan merusak lingkungan. Pemerintah memiliki alasan khusus dalam memberikan izin tambang di kawasan tersebut. Saat ini, lima perusahaan diketahui menjalankan usaha tambang di Raja Ampat, yaitu PT Gag Nikel (PT GN), PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), dan PT Nurham. Namun, hanya PT Gag Nikel yang sudah mulai beroperasi secara aktif di Pulau Gag, sebuah pulau kecil seluas 6.030 hektare.

 

PT GN memiliki kontrak karya seluas 13.136 hektare yang mencakup Pulau Gag dan wilayah perairannya, seluruhnya termasuk dalam kawasan hutan lindung. Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menjelaskan bahwa tambang terbuka secara umum dilarang di hutan lindung, sesuai dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Namun, UU No. 19 Tahun 2004 yang menetapkan Perppu No. 1 Tahun 2004 sebagai undang-undang memperbolehkan 13 kontrak karya, termasuk PT GN, untuk tetap menambang di kawasan hutan lindung dengan metode terbuka. Dengan dasar ini, aktivitas penambangan terbuka PT GN di Pulau Gag dinyatakan legal.

 

"Sebanyak 13 perusahaan, termasuk PT GN, diizinkan berdasarkan UU No. 19 Tahun 2004. Maka, aktivitas tambang ini sah secara hukum," kata Hanif dalam konferensi pers daring pada Minggu, 8 Juni 2025.

 

Meski begitu, Pulau Gag tergolong pulau kecil yang tidak boleh digunakan untuk tambang berdasarkan UU No. 1 Tahun 2014 yang merupakan perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007. Pasal 23 ayat (1) menyatakan bahwa pemanfaatan pulau kecil harus mengacu pada pendekatan ekologis dan ekonomis yang terpadu dengan pulau besar terdekat. Hanif menambahkan bahwa prioritas utama pemanfaatan pulau kecil adalah untuk konservasi, pendidikan, riset, budidaya laut, pariwisata, dan aktivitas ramah lingkungan lainnya.

 

Pasal 35 huruf k UU tersebut juga melarang penambangan di wilayah yang dapat menyebabkan kerusakan ekologis, pencemaran lingkungan, atau merugikan masyarakat sekitar. UU ini mewajibkan semua izin lama untuk menyesuaikan dalam jangka waktu tiga tahun sejak diberlakukan.

 

"Oleh karena itu, persetujuan lingkungan PT GN akan dikaji ulang mengingat Pulau Gag termasuk pulau kecil dan berada di wilayah dengan ekosistem yang rentan. Jika ada dampak lingkungan, kami akan perintahkan segera dilakukan pemulihan," tegas Hanif.

 

Hanif menilai PT GN yang merupakan anak usaha PT Antam Tbk memiliki tingkat kerusakan paling ringan di antara perusahaan lain di Raja Ampat. Hal ini berdasarkan hasil pengawasan langsung tim ke lokasi tambang di Pulau Gag. Secara administratif, PT GN telah memiliki seluruh dokumen perizinan, termasuk IUP dan izin penggunaan kawasan hutan.

 

"Secara kasat mata, kegiatan tambang PT GN masih dalam batas wajar secara lingkungan. Namun, tetap perlu ada kajian lanjutan untuk memastikan kepatuhan secara menyeluruh," tambahnya.

 

Saat ini, izin operasi seluruh perusahaan tambang di Raja Ampat, termasuk PT GN, dibekukan sementara oleh Kementerian ESDM. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa evaluasi teknis sedang dilakukan oleh tim inspektur tambang terhadap seluruh WIUP di wilayah tersebut.

 

"Saya datang langsung untuk melihat kondisi lapangan dan mendengar masukan masyarakat. Hasilnya akan dianalisis tim teknis," ujar Bahlil.

 

Semua perusahaan tersebut memang telah memiliki izin resmi, namun evaluasi tetap akan dilakukan untuk memastikan keseimbangan antara pelestarian lingkungan dan aktivitas ekonomi.

 

Profil 5 Perusahaan Tambang di Raja Ampat:

  1. PT Gag Nikel Satu-satunya perusahaan yang aktif berproduksi. Terdaftar dalam MODI dengan izin berlaku dari 2017–2047, dengan wilayah seluas 13.136 ha. Awalnya dimiliki oleh Asia Pacific Nickel (Australia) sebesar 75% dan PT Antam sebesar 25%. Sejak 2008, seluruh saham telah diakuisisi oleh Antam.

  2. PT Anugerah Surya Pratama (ASP) Anak usaha dari PT Wanxiang Nickel Indonesia (afiliasi Vansun Group dari China), beroperasi di Pulau Manuran (746 ha). Ditemukan tidak memiliki pengelolaan lingkungan memadai, menyebabkan keruhnya laut karena sedimentasi. Melanggar UU No. 1 Tahun 2014.

  3. PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) Berdiri 2023, memiliki IUP sejak 2013 dengan luas 5.922 ha. Melakukan tambang di blok C pada 2024. Terbukti menambang di luar izin seluas 5 ha dan menyebabkan sedimentasi di pesisir serta mangrove.

  4. PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) Memiliki IUP seluas 2.194 ha di Pulau Manyaifun dan Pulau Batang Pele. Tidak memiliki PPKH. Mulai eksplorasi 9 Mei 2025. Kegiatan tanpa izin lingkungan menyebabkan sanksi administratif.

  5. PT Nurham Terdaftar sebagai perusahaan tambang nikel di Raja Ampat, namun tidak aktif memproduksi. Terdaftar dalam sistem pengadaan Pemprov Papua. Tidak tersedia informasi publik lebih lanjut.

Sumber: bisnis.com

Bagaimana pendapat Anda tentang topik ini? Sampaikan pendapat Anda kepada kami. Jangan lupa follow akun Instagram, TikTok, Youtube Digivestasi agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar ekonomi, keuangan, teknologi digital dan investasi aset digital

 

DISCLAIMER

Seluruh informasi yang terkandung dalam situs kami rangkum dari sumber terpercaya dan dipublikasikan dengan niat baik dan bertujuan memberikan informasi umum semata. Tindakan apa pun yang dilakukan oleh para pembaca atas informasi dari situs ini adalah merupakan tanggung jawab mereka pribadi.