3 Negara Ini Siap Redenominasi Mata Uang, Nol Terlalu Banyak Jadi Masalah!

Bisnis | Ekonomi - Diposting pada 12 November 2025 Waktu baca 5 menit

Tahun 2025 menjadi momentum penting bagi tiga negara — Indonesia, Iran, dan Suriah — yang masing-masing mengumumkan rencana untuk melakukan pemangkasan digit nol dalam mata uangnya, atau yang dikenal dengan istilah redenominasi.

 

Secara sederhana, redenominasi adalah proses penyederhanaan jumlah digit pada pecahan uang tanpa mengubah daya beli maupun nilai tukarnya terhadap barang dan jasa.

 

Dalam publikasi Indonesian Treasury Review Volume 2 Nomor 4 Tahun 2017 yang diterbitkan oleh Jurnal Perbendaharaan, Keuangan Negara, dan Kebijakan Publik, dijelaskan bahwa sejumlah negara telah melakukan redenominasi sejak abad ke-19. Antara tahun 1960 hingga 2003, tercatat 38 dari total 60 negara telah melakukan kebijakan tersebut.

 

Karena itu, langkah tiga negara tersebut untuk kembali melaksanakan redenominasi bukanlah hal yang baru. Namun demikian, kebijakan ini diambil dengan tujuan memperkuat kembali nilai mata uang nasional mereka masing-masing. Berikut penjelasan untuk setiap negara:


 

1. Suriah

Suriah menjadi negara pertama dari ketiganya yang mengumumkan rencana redenominasi. Pada Agustus 2025, pemerintahan baru yang dipimpin oleh Ahmed al-Sharaa menyatakan akan menerbitkan uang kertas baru dan menghapus dua digit nol dari mata uang nasionalnya, Lira.

 

Langkah ini bertujuan memulihkan kepercayaan publik terhadap Lira, yang telah kehilangan lebih dari 99% nilainya sejak pecahnya perang pada tahun 2011, menurut laporan Reuters yang dikutip Gulf News.

 

Nilai tukar Lira kini sekitar 10.000 per dolar AS, jauh merosot dibandingkan masa sebelum perang, yang hanya sekitar 50 per dolar AS.

 

Pemerintah Suriah di bawah kepemimpinan al-Sharaa meyakini bahwa redenominasi dapat membantu menstabilkan perekonomian setelah kejatuhan rezim Bashar Al Assad pada Desember 2024, yang mengakhiri konflik selama 14 tahun dan menghancurkan struktur ekonomi serta masyarakat Suriah.

 

Selain menyederhanakan transaksi harian, redenominasi ini juga memiliki makna simbolis, yakni menghapus pengaruh dinasti Assad, karena uang kertas Suriah saat ini masih menampilkan potret keluarga tersebut — pecahan 2.000 pound bergambar Bashar Al Assad, dan 1.000 pound bergambar ayahnya, Hafez Al Assad.

 

Berdasarkan dokumen Bank Sentral Suriah yang dikutip Reuters, lembaga keuangan itu telah memberi tahu bank-bank komersial pada pertengahan Agustus mengenai rencana penerbitan uang baru dengan penghapusan dua digit nol, guna memperlancar transaksi serta meningkatkan stabilitas moneter.

 

Tiga sumber perbankan mengungkapkan bahwa Suriah telah menunjuk perusahaan Rusia milik negara, Goznak, untuk mencetak uang kertas baru. Kesepakatan ini dicapai setelah kunjungan delegasi tingkat tinggi Suriah ke Moskow pada akhir Juli, dan Goznak juga dikenal sebagai pencetak uang Suriah pada masa pemerintahan Assad.

 

Pemerintah baru berkomitmen untuk mengadopsi sistem ekonomi pasar yang lebih terbuka serta menghapus pembatasan penggunaan mata uang asing. Namun, dolar AS masih mendominasi transaksi di toko, stasiun bensin, hingga pasar tradisional. Para bankir menilai, salah satu tujuan utama reformasi ini adalah untuk mengendalikan sekitar 40 triliun Lira yang beredar di luar sistem keuangan resmi.

 

Meskipun demikian, sejumlah ekonom memperingatkan adanya risiko. Karam Shaar, ekonom Suriah sekaligus penasihat PBB, mengatakan bahwa penghapusan nol dan penggantian gambar pada uang kertas lebih bersifat simbolik secara politik, namun berpotensi menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat, terutama lansia.

 

“Sebagai alternatif, Suriah bisa saja menerbitkan pecahan uang yang lebih besar, seperti 20.000 atau 50.000 pound, yang akan mempermudah transaksi tanpa perlu mengeluarkan biaya besar untuk mencetak ulang seluruh mata uang, yang bisa mencapai ratusan juta dolar,” ujarnya.


 

2. Iran

Negara Timur Tengah lainnya, Iran, juga telah merencanakan kebijakan serupa. Pemerintah Iran telah mendapatkan persetujuan parlemen untuk menghapus empat digit nol dari mata uangnya, yakni rial.

 

Menurut laporan Reuters, kebijakan ini dilakukan untuk mempermudah transaksi keuangan setelah bertahun-tahun Iran dilanda inflasi tinggi, dengan laju inflasi rata-rata lebih dari 35% per tahun.

 

Kondisi tersebut menyebabkan nilai tukar rial anjlok hingga 1.150.000 per dolar AS di pasar bebas, berdasarkan data dari Bonbast, situs pelacak kurs mata uang.

 

Persetujuan parlemen diumumkan oleh media pemerintah pada awal Oktober, setelah rancangan undang-undang yang telah disusun bertahun-tahun akhirnya disahkan.

 

“Nama mata uang tetap rial, dan perubahan tidak akan terjadi secara mendadak,” jelas Shamsoldin Hossein, Ketua Komisi Ekonomi Parlemen Iran, dalam wawancara dengan TV pemerintah.

 

Bank Sentral Iran diberikan waktu dua tahun untuk melakukan persiapan, dan selama tiga tahun masa transisi, kedua versi uang — lama dan baru — akan beredar bersamaan.

 

Hossein menjelaskan, langkah ini akan membuat penggunaan rial menjadi lebih efisien dalam transaksi dan perhitungan, meski inflasi yang tinggi telah sangat mengurangi nilai riil uang kertas Iran.

 

Namun, tidak semua pihak setuju. Hossein Samsami, anggota parlemen lainnya, menilai bahwa menghapus empat nol tidak akan serta-merta meningkatkan prestise mata uang nasional, karena penguatan nilai riil mata uang hanya dapat dicapai melalui perbaikan fundamental ekonomi.


 

3. Indonesia

Seperti halnya Iran, Indonesia juga berencana melaksanakan redenominasi, yang telah menjadi bagian dari rencana strategis Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk periode 2025–2029.

 

Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2025–2029, yang disahkan pada 10 Oktober 2025, disebutkan bahwa penyusunan dasar hukum untuk redenominasi akan dilakukan pada tahun 2026–2027, melalui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi).

 

“Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) merupakan RUU luncuran yang ditargetkan selesai pada tahun 2027,” demikian bunyi dokumen PMK 70/2025, dikutip pada Selasa (11 November 2025).

 

Namun, sebenarnya rencana redenominasi di Indonesia telah muncul sejak 2013, hanya saja belum terealisasi hingga saat ini.

Sumber: cnbcindonesia.com

Bagaimana pendapat Anda tentang topik ini? Sampaikan pendapat Anda kepada kami. Jangan lupa follow akun Instagram, TikTok, Youtube Digivestasi agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar ekonomi, keuangan, teknologi digital dan investasi aset digital

 

DISCLAIMER

Seluruh informasi yang terkandung dalam situs kami rangkum dari sumber terpercaya dan dipublikasikan dengan niat baik dan bertujuan memberikan informasi umum semata. Tindakan apa pun yang dilakukan oleh para pembaca atas informasi dari situs ini adalah merupakan tanggung jawab mereka pribadi.